Unduh AlMosaly Sekarang
Artikel Almosaly >> Situasi Bersejarah

Usāmah bin Zaid — Teladan Para Pemuda

Usāmah bin Zaid — Teladan Para Pemuda
2025/10/22
383

Dalam lembaran sejarah Islam, ada nama-nama yang bersinar dengan cahaya keimanan, memancarkan hikmah, dan memberikan kepada generasi yang datang silih berganti pelajaran tentang iman, kepemimpinan, dan kesetiaan.

Di antara nama-nama yang bercahaya itu, tampillah Usāmah bin Zaid رضي الله عنه, seorang pemuda yang sangat dicintai Rasulullah ﷺ dengan kecintaan yang luar biasa, hingga beliau dijuluki
"الحِبّ ابن الحِبّ" (al-Ḥibb ibnu al-Ḥibb) — artinya "yang dicintai, putra dari yang dicintai" Rasulullah ﷺ, yaitu Zaid bin Hārithah رضي الله عنه.

 

Nasab dan Kehidupan Awal

Usāmah bin Zaid bin Hārithah, Abū Zaid al-Kalbī — dan ada yang mengatakan Abū Yazīd atau Abū Muḥammad — adalah maula Rasulullah ﷺ, putra dari maula beliau, dan kesayangan beliau serta anak dari kesayangannya.

Ibunya adalah Ummu Aiman, bernama Barakah, pengasuh Rasulullah ﷺ sejak kecil, termasuk di antara orang yang pertama beriman setelah beliau diutus sebagai nabi.

Rasulullah ﷺ mengangkat Usāmah sebagai panglima perang pada hari-hari terakhir kehidupannya, dan saat itu Usāmah baru berusia delapan belas atau sembilan belas tahun.
Ia wafat dalam keadaan menjadi komandan pasukan besar yang di dalamnya terdapat sahabat-sahabat besar seperti ‘Umar bin al-Khaṭṭāb رضي الله عنه.
(Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 5/443)

 

Wahai Pemuda Islam…

wahai jiwa yang rindu pada kemuliaan dan hatinya bercita-cita tinggi untuk meraih kejayaan di dunia dan akhirat.

Di tengah gelombang kehidupan yang ganas dan derasnya arus panutan palsu yang ditawarkan layar-layar digital, tidakkah kalian membutuhkan sebuah mercusuar yang menuntun langkahmu,
atau bintang yang sinarnya kamu ikuti di tengah gelapnya zaman?

Hari ini, mari kita berhenti sejenak untuk menyelami kisah seorang pemuda luar biasa —
pemuda yang tumbuh di rumah kenabian, diasuh langsung di bawah pandangan Rasulullah ﷺ,
hingga menjadi teladan bagi setiap generasi muda di sepanjang zaman.

Dialah sahabat mulia Usāmah bin Zaid رضي الله عنهما.

 

Tumbuh di Pelukan Kenabian

Kehidupan awal Usāmah bin Zaid bukanlah kehidupan biasa.
Ia lahir dalam keadaan Islam dan tidak pernah mengenal syirik walau sesaat.

Ayahnya, Zaid bin Hārithah رضي الله عنه, adalah sahabat yang sangat dicintai Nabi ﷺ, bahkan sebelum diutus menjadi rasul, beliau telah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya dan mencintainya dengan penuh kasih, hingga dahulu masyarakat memanggilnya Zaid bin Muḥammad ﷺ.

Dalam rumah yang diberkahi, yang semerbak dengan harumnya wahyu dan cahaya kenabian, di situlah Usāmah membuka matanya terhadap dunia.

 

Sesungguhnya, berbicara tentang Usāmah bukan sekadar mengisahkan perjalanan seorang sahabat mulia,
tetapi menghadirkan sebuah sosok teladan pemuda mukmin yang menggabungkan antara ilmu dan amal, ketaatan dan kepemimpinan, kerendahan hati dan keberanian.

 

Cinta Rasulullah ﷺ kepada Usāmah bin Zaid

Cinta Rasulullah ﷺ kepada Usāmah sangatlah besar dan mendalam.

Sebagaimana diriwayatkan dari Usāmah bin Zaid رضي الله عنهما, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda:

«أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُهُ وَالْحَسَنَ، فَيَقُولُ: اللَّهُمَّ أَحِبَّهُمَا، فَإِنِّي أُحِبُّهُمَا.»

“Beliau biasa menggendongku dan al-Ḥasan, lalu bersabda:
‘Ya Allah, cintailah keduanya, karena aku mencintai keduanya.’” (HR. al-Bukhārī no. 3735)

 

Wah, betapa dalamnya cinta itu!
Dan betapa indahnya pendidikan semacam itu!

Usāmah bin Zaid meneguk langsung dari sumber kenabian yang murni,
jiwanya dipenuhi dengan tauhid, dan akhlaknya dihiasi dengan budi pekerti Nabi yang mulia.

Pelajaran pertama yang dapat kita petik adalah:

Lingkungan yang saleh adalah tempat terbaik tumbuhnya manusia besar.
Maka wahai para pemuda, perbanyaklah duduk bersama orang-orang saleh, hadirilah majelis ilmu, dan cintailah majelis dzikir.
Sebab di sanalah jiwa disucikan dan akhlak dibentuk.

 

Cinta yang luar biasa dari Nabi ﷺ kepada Usāmah bukan sekadar kasih sayang, namun merupakan pengakuan kenabian atas kemurnian hatinya, kesempurnaan akhlaknya, dan keistimewaan kepemimpinannya.

Ibn Katsīr meriwayatkan:

“Usāmah berkulit hitam legam, berhidung pesek, namun tampan, fasih, berilmu, dan saleh — رضي الله عنه.
Sedangkan ayahnya, Zaid, berkulit putih. Karena itu sebagian orang yang tidak paham sempat meragukan garis keturunannya.
Lalu datanglah Mujazziz al-Mudlijī, seorang ahli nasab, melihat keduanya sedang tidur berselimut dan hanya telapak kaki mereka yang terlihat —
Usāmah yang hitam dan Zaid yang putih — maka ia berkata:
‘Subḥānallāh, sesungguhnya sebagian dari kaki ini berasal dari sebagian yang lain.’
Rasulullah ﷺ pun sangat gembira mendengarnya, dan masuk menemui ‘Āisyah dengan wajah berseri-seri seraya berkata:
‘Tidakkah engkau lihat bahwa Mujazziz tadi berkata: Sesungguhnya sebagian kaki ini berasal dari sebagian yang lain.’”(HR. Muslim no. 1459;  Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 5/444)

 

Dari kisah ini kita belajar:
Bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari warna kulit atau nasabnya, tetapi dari ketakwaan dan akhlaknya.
Sebagaimana firman Allah ﷻ:

﴿إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ﴾

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” Surah al-Ḥujurāt: 13.

Kepemimpinan Agung: Kepercayaan Nabi ﷺ kepada Usāmah bin Zaid

Usāmah bin Zaid sejak dini telah menyadari bahwa nilai sejati seorang laki-laki bukan diukur dari banyaknya harta atau tingginya keturunan, tetapi dari pengorbanannya demi agama Allah dan perjuangannya membela kebenaran.
Maka jadikanlah itu ukuran kita, wahai para pemuda!
Jadikanlah semangat kita adalah semangat perjuangan di jalan Allah, masing-masing sesuai dengan bidang dan peran yang Allah amanahkan.
Sungguh, Usāmah bin Zaid benar-benar merupakan teladan bagi pemuda dalam semangat dan cita-cita yang tinggi.

 

Di sinilah kita sampai pada babak paling mengagumkan dalam perjalanan hidup pemuda agung ini — babak yang menjadikannya teladan dalam kepemimpinan dan tanggung jawab.

Pada akhir hayatnya yang mulia, Rasulullah ﷺ menyiapkan pasukan besar untuk berperang melawan Romawi di negeri Syam, sebagai balasan atas gugurnya para syuhadā’ dalam Perang Mu’tah, di antara mereka adalah ayahnya, Zaid bin Ḥārithah رضي الله عنه.

Lalu siapakah yang Rasulullah ﷺ pilih menjadi komandan pasukan besar itu, yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh utama dari kalangan Muhājirīn dan Anṣār?
Beliau memilih seorang pemuda.
Beliau memilih Usāmah bin Zaid!

 

Bayangkan, wahai para pemuda…
Nabi umat ini, dalam kondisi sakit di atas ranjang wafatnya, menaruh kepercayaan penuh kepada seorang pemuda berusia delapan belas tahun.
Beliau menyerahkan kepadanya panji komando pasukan besar kaum muslimin — pasukan yang dipenuhi para sahabat senior seperti ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dan Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ رضي الله عنهما.

 

Ketika Rasulullah ﷺ mengangkat Usāmah menjadi pemimpin, sebagian orang meragukan dan mencela kepemimpinannya. Maka Rasulullah ﷺ naik mimbar dan berkhutbah di hadapan para sahabat sebagaimana disebut dalam hadits sahih:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ بَعَثَ بَعْثًا، وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَطَعَنَ النَّاسُ فِي إِمَارَتِهِ، فَقَامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَقَالَ:
إِنْ تَطْعَنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعَنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ، وَايْمُ اللهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ، وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ، وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ».

Dari ‘Abdullāh bin ‘Umar رضي الله عنهما, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ mengutus sebuah pasukan dan mengangkat Usāmah bin Zaid sebagai pemimpin mereka.
Lalu orang-orang mencela kepemimpinannya. Maka Rasulullah ﷺ berdiri dan bersabda:
‘Jika kalian mencela kepemimpinannya, maka sesungguhnya kalian telah mencela kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid) layak menjadi pemimpin, dan dia termasuk orang yang paling aku cintai, dan sesungguhnya ini (Usāmah) termasuk orang yang paling aku cintai setelahnya.’” (HR. al-Bukhārī no. 3730, 4469; Muslim no. 2426)

 

Allāhu Akbar!
Sungguh ini adalah pengakuan dari Rasulullah ﷺ — piagam kehormatan abadi bagi Usāmah bin Zaid رضي الله عنه yang akan terus disebut hingga hari kiamat.

Pelajaran besar bagi kita semua:

Dalam Islam, kompetensi tidak diukur dengan umur atau status sosial, tetapi dengan ketakwaan, ilmu, dan kemampuan.

 

Rasulullah ﷺ melihat dalam diri Usāmah bin Zaid sesuatu yang tidak dilihat orang lain:
Beliau melihat seorang pemimpin sejati, sosok yang siap memikul tanggung jawab besar, bahkan di saat yang sangat genting.

Ini mengajarkan kita bahwa pemuda memiliki potensi luar biasa, dan mereka layak diberi kepercayaan, dibimbing, serta diberi ruang untuk berperan dalam membangun agama ini.

 

Maka wahai para pemuda,
jadilah layak atas kepercayaan seperti yang pernah diberikan Nabi ﷺ kepada Usāmah.
Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu, teguhlah dalam ketaatan kepada Allah, dan hiasilah akhlakmu dengan keindahan Islam.

 

Mengapa Sebagian Orang Mencela Kepemimpinan Usāmah bin Zaid?

Dalam hadits di atas, diriwayatkan oleh ‘Abdullāh bin ‘Umar رضي الله عنهما bahwa Rasulullah ﷺ mengutus sebuah pasukan (yang disebut ba‘ts) dan menjadikan Usāmah bin Zaid bin Ḥārithah رضي الله عنهما sebagai komandannya.
Namun sebagian orang meremehkan dan mencela kepemimpinannya, dengan mengatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin.

Mereka mencelanya karena ia seorang mawlā (bekas budak), dan sebagian bangsa Arab kala itu masih merasa gengsi untuk dipimpin oleh seorang mawlā.

Ada juga yang mengatakan bahwa yang mencela itu adalah orang-orang munafik, dan ketika Rasulullah ﷺ mendengar hal itu, beliau bersabda:

«إِنْ تَطْعَنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعَنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ»

“Jika kalian mencela kepemimpinannya, maka sesungguhnya kalian telah mencela kepemimpinan ayahnya sebelumnya.”

Beliau ingin menegaskan bahwa celaan itu tidak benar dan berdosa, karena Zaid dan Usāmah keduanya telah terbukti layak memimpin.

 

Rasulullah ﷺ sebelumnya telah mengangkat Zaid bin Ḥārithah رضي الله عنه sebagai pemimpin dalam Perang Mu’tah pada tahun kedelapan Hijriah, sebuah perang besar di perbatasan wilayah Romawi.
Dan ketika Zaid gugur di sana, Nabi ﷺ menyiapkan putranya Usāmah untuk melanjutkan perjuangan menaklukkan Romawi.
Namun pasukan itu belum sempat berangkat hingga Rasulullah ﷺ wafat.

Lalu setelah wafat beliau, Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq رضي الله عنه berkata dengan tegas:

“Demi Allah, aku tidak akan membatalkan panji yang telah dikibarkan oleh Rasulullah ﷺ!”

Maka pasukan Usāmah pun akhirnya diberangkatkan dan meraih kemenangan.

 

Rasulullah ﷺ bersumpah dengan penuh cinta:

«وَايْمُ اللهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمَارَةِ، وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ، وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ»

“Demi Allah, sungguh Zaid layak menjadi pemimpin, dan ia termasuk orang yang paling aku cintai; dan sesungguhnya Usāmah ini termasuk orang yang paling aku cintai setelahnya.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)

 

Dengan itu, Rasulullah ﷺ memberikan kesaksian langsung atas kelayakan Usāmah dan ayahnya Zaid dalam memimpin.
Status mereka sebagai bekas budak tidak mengurangi sedikit pun kehormatan mereka di sisi Allah dan Rasul-Nya.

Pelajaran yang kita ambil:

  • Bahwa kemuliaan bukan karena nasab, tetapi karena iman dan akhlak.

  • Bahwa Islam mengajarkan keadilan dan meritokrasi — siapa pun yang berilmu dan bertakwa, dialah yang layak memimpin.

  • Bahwa pemuda yang ikhlas dan beriman dapat memikul amanah besar.

 

Sungguh, peristiwa itu merupakan pesan kenabian yang abadi:
Bahwa kecakapan tidak diukur dari usia, dan bahwa pemuda yang tulus niatnya, bersenjata iman, dan berjiwa teguh adalah orang paling pantas memikul panji umat ini.

Jihad Usāmah bin Zaid dan Keteguhannya

Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, meskipun umat Islam menghadapi masa yang sangat sulit — dengan munculnya gerakan kemurtadan (Ḥarakah ar-Riddah) — khalifah pertama Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq رضي الله عنه tetap berpegang teguh pada keputusan Rasulullah ﷺ untuk mengirim pasukan Usāmah.

Beliau berkata dengan tegas kalimat yang abadi:
"وَاللهِ لَا أَحُلُّ رَايَةً عَقَدَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ."
“Demi Allah, aku tidak akan membuka (atau membatalkan) panji yang telah dikibarkan oleh Rasulullah ﷺ.”

 

Maka pasukan Usāmah bin Zaid pun berangkat, membawa semangat jihad yang diwariskan Nabi ﷺ.
Mereka berhasil meraih kemenangan besar; kaum murtad dan musuh-musuh Islam gentar menghadapi keberanian mereka.
Keputusan Abū Bakr itu terbukti sebagai puncak kebijaksanaan dan kebenaran.

Dengan kepemimpinannya yang teguh, Usāmah bin Zaid رضي الله عنه membuktikan bahwa ia benar-benar layak atas kepercayaan Rasulullah ﷺ.
Ia menjadi teladan bagi para pemuda dalam menepati amanah dan menunaikan janji hingga akhir.

 

Imām Ibn Katsīr رحمه الله berkata:

“Ketika Rasulullah ﷺ wafat, pasukan Usāmah masih berada di Jurf (dekat Madinah).
Abū Bakr meminta agar ‘Umar bin al-Khaṭṭāb tetap bersamanya di Madinah untuk dimintai pendapat, dan Usāmah pun mengizinkannya.
Abū Bakr kemudian menjalankan pasukan Usāmah meski banyak sahabat yang menyarankan agar ditunda.
Namun beliau bersikeras dan berkata:
‘Demi Allah, aku tidak akan membatalkan panji yang telah dikibarkan oleh Rasulullah ﷺ!’
Maka pasukan itu berangkat hingga mencapai perbatasan Balqā’ di wilayah Syam — tempat ayahnya Zaid, Ja‘far bin Abī Ṭālib, dan ‘Abdullāh bin Rawāḥah gugur syahid.
Usāmah menyerang negeri-negeri itu, menaklukkan dan membawa rampasan, lalu kembali ke Madinah dengan kemenangan.
Karena itulah, setiap kali ‘Umar bin al-Khaṭṭāb رضي الله عنه berjumpa dengan Usāmah, ia selalu berkata kepadanya:
‘السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا الْأَمِيرُ — Semoga keselamatan atasmu, wahai panglima!’” (Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 5/443)

 

Dengan demikian, Usāmah bin Zaid رضي الله عنه memimpin pasukannya dengan penuh keyakinan dan keberanian setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, menunaikan perintah beliau yang mulia, hingga mencapai negeri Romawi dan meraih kemenangan yang mengokohkan kekuasaan Islam.

Kebijaksanaan Usāmah bin Zaid di Masa Fitnah

Keagungan Usāmah bin Zaid tidak hanya tampak di medan perang, tetapi juga pada kebijaksanaannya di masa fitnah besar yang mengguncang umat Islam setelah terbunuhnya Khalifah ‘Utsmān bin ‘Affān رضي الله عنه.

Ketika perang saudara (fitnah kubrā) terjadi antara para sahabat, Usāmah bin Zaid memilih untuk menjauh dan tidak terlibat sedikit pun, baik dengan pedang maupun ucapan.
Ia melihat bahwa darah yang akan tertumpah adalah darah kaum Muslimin yang bersyahadat “lā ilāha illallāh”, maka ia pun menjauh demi menjaga kehormatan darah itu.

 

Imām Ibn Katsīr رحمه الله berkata:

“Telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa Usāmah رضي الله عنه tidak menghadiri satu pun peperangan bersama ‘Alī رضي الله عنه.
Ia meminta maaf kepada beliau karena mengingat sabda Rasulullah ﷺ saat ia pernah membunuh seseorang yang telah mengucapkan lā ilāha illallāh.
Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:
‘مَن لَكَ بِلا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ أَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ؟ مَن لَكَ بِلا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟’
(Siapa yang akan melindungimu dari kalimat lā ilāha illallāh pada hari kiamat? Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan lā ilāha illallāh? Siapa yang akan melindungimu dari kalimat itu di hari kiamat?)” (Al-Bidāyah wa an-Nihāyah, 5/444)

 

Hadits tersebut diriwayatkan secara lengkap dalam Ṣaḥīḥ Muslim:

إِنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ بَعَثَ بَعْثًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَى قَوْمٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، وَإِنَّهُمُ الْتَقَوْا فَكَانَ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِذَا شَاءَ أَنْ يَقْصِدَ إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَصَدَ لَهُ فَقَتَلَهُ، وَإِنَّ رَجُلًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَصَدَ غَفْلَتَهُ، قَالَ: وَكُنَّا نُحَدَّثُ أَنَّهُ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَلَمَّا رَفَعَ عَلَيْهِ السَّيْفَ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، فَقَتَلَهُ، فَجَاءَ الْبَشِيرُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، فَسَأَلَهُ فَأَخْبَرَهُ حَتَّى أَخْبَرَهُ خَبَرَ الرَّجُلِ كَيْفَ صَنَعَ، فَدَعَاهُ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: لِمَ قَتَلْتَهُ؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَوْجَعَ فِي الْمُسْلِمِينَ، وَقَتَلَ فُلَانًا وَفُلَانًا، وَسَمَّى لَهُ نَفَرًا، وَإِنِّي حَمَلْتُ عَلَيْهِ فَلَمَّا رَأَى السَّيْفَ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: أَقَتَلْتَهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، اسْتَغْفِرْ لِي. قَالَ: وَكَيْفَ تَصْنَعُ بِلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: فَجَعَلَ لَا يَزِيدُهُ عَلَى أَنْ يَقُولَ: كَيْفَ تَصْنَعُ بِلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟»

“Rasulullah ﷺ mengutus sekelompok kaum Muslimin kepada sekelompok orang musyrik.
Ketika terjadi pertempuran, ada seorang musyrik yang biasa menyerang kaum Muslimin dan membunuh mereka.
Kemudian salah seorang Muslim (kami diberitahu bahwa dia adalah Usāmah bin Zaid) berhasil mengejarnya dan hendak membunuhnya.
Namun ketika dihunuskan pedang ke arahnya, orang musyrik itu mengucapkan lā ilāha illallāh, dan Usāmah tetap membunuhnya.
Ketika kabar itu sampai kepada Nabi ﷺ, beliau memanggil Usāmah dan bertanya,
‘Mengapa engkau membunuhnya?’
Usāmah menjawab, ‘Wahai Rasulullah, dia telah menyakiti kaum Muslimin dan membunuh si fulan dan si fulan, dan aku menyerangnya. Namun ketika melihat pedangku, ia mengucapkan lā ilāha illallāh.’
Beliau bertanya, ‘Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan lā ilāha illallāh?’
Usāmah menjawab, ‘Ya.’
Beliau bersabda, ‘Lalu bagaimana engkau akan menghadapi lā ilāha illallāh pada hari kiamat?’
Usāmah berkata, ‘Wahai Rasulullah, mohonkan ampun untukku.’
Namun beliau tetap mengulanginya, ‘Bagaimana engkau akan menghadapi lā ilāha illallāh pada hari kiamat?’” (HR. Muslim no. 97)

 

Hadits ini sangat membekas di hati Usāmah bin Zaid.
Sejak saat itu ia sangat berhati-hati dalam urusan darah kaum Muslimin, dan ketika fitnah besar terjadi, ia memilih untuk diam dan menjauh dari pertumpahan darah.
Inilah kebijaksanaan sejati — memahami kapan harus berjuang dan kapan harus menahan diri.

Pelajaran dari Kehidupan Usāmah bin Zaid untuk Pemuda Muslim

Di zaman ketika banyak pemuda mencari sosok panutan, Usāmah bin Zaid tampil sebagai contoh nyata dari kemurnian hati, keikhlasan, iman yang kokoh, kerja keras, kepemimpinan, dan kerendahan hati.

Dari kisah hidupnya, kita belajar bahwa:

  • Nilai sejati seseorang ada pada iman dan amalnya, bukan nasab atau harta.

  • Pemuda bisa menjadi teladan dan memberi pengaruh besar jika memiliki niat yang tulus dan semangat yang ikhlas.

  • Jika musuh dahulu memerangi dengan pedang, maka musuh hari ini memerangi dengan syubhat dan hawa nafsu — dan obatnya tetap sama: iman yang kuat dan amal saleh.

Maka jadikanlah Usāmah bin Zaid sebagai teladan dalam kesungguhan, kecintaan kepada Rasulullah ﷺ, dan keteguhan di jalan ketaatan.

Jadilah “Usāmah” di Zamanmu

Kisah Usāmah bin Zaid رضي الله عنه bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan teladan hidup yang harus dihidupkan kembali di hati para pemuda zaman ini.
Apakah kita siap meneladani keteguhan, keberanian, dan kebersihan hatinya?

 Jadilah seperti Usāmah dalam...

  • Cintamu kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ,

  • Ketaatanmu kepada orang tua,

  • Semangatmu menuntut ilmu dan berkhidmat untuk agama,

  • Keteguhanmu dalam menjauhi fitnah dan dosa.

Sesungguhnya, umat hari ini sangat membutuhkan pemuda dengan hati seperti Usāmah, akal seperti Usāmah, dan semangat seperti Usāmah —
pemuda yang menggabungkan antara ilmu dan amal, keberanian dan kebijaksanaan, kekuatan dan kasih sayang.

Penutup

Sebarkan kisah inspiratif ini, wahai saudaraku, agar semangat itu hidup kembali dalam diri para pemuda Islam.
Tulislah satu pelajaran yang kamu ambil dari kisah Usāmah bin Zaid.

“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan orang-orang beriman, berilmu, dan berhikmah.
Anugerahkan kepada kami hati yang bening seperti hati Usāmah, dan keikhlasan seperti keikhlasannya.
Teguhkanlah kami di atas ketaatan-Mu hingga hari kami berjumpa dengan-Mu.
Kumpulkanlah kami dalam rombongan Nabi-Mu ﷺ, dan karuniakanlah kami kebersamaan dengannya di surga-Mu yang abadi.”

«سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.»

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. 

Allahumma salli wa sallim wa barik ‘ala Muhammad, wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma'in.

#AlMosalySahabatIbadahMu

📝 Silahkan Tulis komentar kamu disini, semoga jadi inspirasi bagi yang lain. 

Bagikan tulisan ini, niscaya engkau akan mendapat pahala…

“Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi pahala orang yang mengamalkannya." (HR. Muslim)

Mencari

Paling banyak terjual

Artikel terkait

2023/01/17
936

Kenali Sosok Muslim yang Memiliki Kecerdasan yang Cemerlang Sepanjang Sejarah!

Ia tokoh intelektual yang menonjol dalam sejarah pemikiran islam, orientalis Jerman menyebutnya pemilik otak brilian. Namanya layak disematkan di deretan dewan kehormatan tokoh besar. Klik disini

2023/02/01
1.187

Umat Muslim Adalah yang Pertama Menggunakan Anestesi Untuk Merawat Pasien!

Ketika Allah ingin menciptakan Hawa, Allah menjadikan Adam tertidur, ketika dia bangun melihat Hawa di sebelahnya. Orang Muslim pertama yang berpikir tentang tidur sebagai alat anestesi. Klik di sini!

2025/06/21
181

Apakah kebanyakan pasukan menghasilkan kemenangan

Apakah kamu pernah mengira bahwa banyaknya jumlah adalah jaminan kemenangan? Apakah kamu melihat banyaknya massa sebagai penentu kejayaan?

ellipse

Dengan aplikasi Al-Mosaly, Ketahui masjid terdekat, di mana pun Anda berada, dengan sangat akurat.

Unduh sekarang

Pemrograman Madar © 2025 Semua hak dilindungi undang-undang bagi pemrograman Madar

Powered by Madar Software